Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen merupakan Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Sragen di bidang perpustakaan. Pusat informasi dan Literasi Masyarakat Sragen ini terletak di JL. Raya Sukowati Barat NO. 15 SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Pada tahun 2010, terpilih sebagai Perpustakaan Kabupaten/Kota Terbaik Pertama Se-Jawa Tengah. Telp. 02171 892721 Email perpustakaansragen@gmail.com. NOMOR POKOK PERPUSTAKAAN 33143E1014753.

Mari, Bersama Perpustakaan Kita Cerdaskan Bangsa!


18 Maret 2013

Wajah Kontradiktif Sangiran

Darmadi (46) menggenggam batu berbentuk hampir bulat berukuran sekepalan tangan. Batu itu berwarna kecoklatan. Sebagian terkelupas sehingga menampakkan warna putih dengan tekstur butir yang kinclong. Itulah sebagian dari fosil yang menghidupi warga Sangiran secara sembunyi-sembunyi. Sri Rejeki


Ini bukan sekadar batu, tetapi fosil garam laut. Bentuknya yang bulat bisa diolah perajin sebagai tengkorak manusia. Ditambah serbuk fosil, akan mirip fosil asli,” kata Darmadi, warga Kampung Sangiran, Desa Krikilan, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, pekan lalu.
Bukan rahasia lagi, fosil seakan menjadi ”barang tambang” di Sangiran. Tanah Sangiran yang tandus membuat pertanian kurang memberi harapan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Keberadaan fosil yang mengandung nilai ekonomis memantik niat warga setempat berkeinginan mengeksplorasi dan mengeksploitasinya.

Seiring penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, kegiatan perburuan dan jual-beli fosil perlahan berkurang atau setidaknya dilakukan sembunyi-sembunyi karena termasuk perbuatan melanggar hukum. Sebagai gantinya, berkembanglah kerajinan dari batu alam dan serpihan fosil, seperti batu akik, biji tasbih, patung primitif, kapak, trisula, atau telur. Ada juga yang membuat tiruan fosil. Terbitnya UU No 11/2010 tentang Cagar Budaya—sebagai revisi atas UU No 5/1992—membuat warga tidak bisa sembarangan menggali tanah untuk mencari batu alam atau menambang pasir meski itu lahannya sendiri. Harap maklum, aktivitas penggalian berisiko mengubah bentang alam. Meskipun berupa serpih kecil dan nilainya rendah, fosil juga tidak mudah diolah sebagai bahan baku kerajinan.

”Sebenarnya kami tak ngotot harus mengolah fosil atau batu alam, asalkan ada alternatif mata pencaharian lain, misalnya batik, konveksi, atau kerajinan lainnya yang bisa meningkatkan kesejahteraan. Namun, warga butuh pelatihan dan modal dan sampai sekarang belum kami dapatkan. Kalaupun ada, baru diterima orang-orang tertentu yang itu-itu saja,” kata Darmadi.

Ada 75 perajin yang tergabung dalam kelompok-kelompok kecil di bawah Kelompok Ekonomi Kreatif Sangiran. Di bawah Koperasi Pedagang Suvenir Museum Sangiran, ada 35 pedagang yang menempati 19 kios di samping museum. Ketuanya, Bambang Sugiyanto, mengeluhkan posisi kios yang membuat pengunjung enggan singgah. Bagi warga seperti Bambang, istilah warisan budaya seharusnya membuat warisnya leluasa memanfaatkan apa yang diwariskan kepadanya.

Ketua Kelompok Perajin Batu Indah Bertuah Sangiran Giyoto (44) mengatakan, 12 perajin di kelompoknya kesulitan menembus pasar di Museum Sangiran. Sebagian produk mereka juga kalah bersaing dari produk serupa dari Tulungagung, Jawa Timur. Batu dari Tulungagung relatif kuat dan tidak mudah pecah dibandingkan dengan yang di Sangiran.

”Kami bisa saja bikin seperti yang di Tulungagung, tetapi kendalanya ketiadaan mesin peralatan. Bantuan selama ini alat sederhana. Itu pun lima tahun sekali,” kata Giyoto.
Adapun Suwarmi (47), pengusaha konveksi, mengeluhkan produknya tidak bisa menembus kios di Sangiran karena pedagang lebih suka mengambil barang dari Solo yang harganya lebih murah dan desainnya dinamis. Boleh dikatakan hampir seluruh kelompok masyarakat, termasuk kelompok yang selama ini dipandang sudah mendapat keuntungan, menyuarakan ketidakpuasan.

Kepala Desa Krikilan Widodo mengatakan, warga desa sejauh ini masih sebagai penonton. Penjualan tiket museum, retribusi parkir, dan toilet yang dikelola Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Sragen menyumbang pendapatan asli daerah (PAD) dan kas daerah yang tak kecil. Namun, kondisi jalan raya yang melintasi desa itu rusak berat, bertolak belakang dengan kemegahan kondisi Museum Manusia Purba Sangiran. Kas desa tidak mendapat satu sen pun dari pengelolaan museum.

Kepala Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran (BPSMPS) Harry Widianto mengatakan, sesuai nota kesepahaman pengembangan kawasan Sangiran, dana pembangunan museum ditanggung APBN melalui BPSMPS senilai Rp 150 miliar. Adapun promosi dan pemberdayaan masyarakat ditangani Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Infrastruktur dan penyediaan lahan ditangani pemerintah setempat.
Pihaknya telah merekrut warga setempat untuk jadi pengelola museum. Meskipun persentasenya belum banyak, dari 80 pegawai, sebanyak 23 orang merupakan warga sekitar. Penyempurnaan museum mendorong peningkatan pengunjung. Catatan buku tamu pengunjung, tahun 2012 museum didatangi 170.000 pengunjung, naik dari tahun sebelumnya sebesar 60.000 pengunjung. Pihaknya mendapat sepertiga hasil penjualan tiket yang saat ini besarnya Rp 5.000 per orang, yakni Rp 140 juta pada 2012 dan Rp 170 juta tahun 2011.
Untuk menekan pencurian fosil, pihaknya mempercepat proses pemberian imbal jasa, paling lama dua minggu. Warga yang menyerahkan fosil diberi sertifikat dan namanya dicatat sebagai penemu. Besar imbalan Rp 250.000-Rp 10 juta tergantung kualitas fosil. Soal besaran nilai imbal jasa yang dipertanyakan masyarakat, menurut Harry, pihaknya memiliki standar yang dapat diakses oleh masyarakat. Imbal jasa yang kecil dan pemberiannya yang lama dahulu sempat memicu warga lebih suka menjual fosil temuan kepada tengkulak.
Menurut Harry, pihaknya menyadari pemanfaatan cagar budaya bagaimanapun untuk kepentingan masyarakat. Pihaknya berjanji kelak masyarakat akan lebih dilibatkan dalam pengembangan kluster-kluster yang akan dibangun di Dayu, Bukuran, dan Ngebung dalam aspek perekrutan tenaga kerja, pasar suvenir, dan pengelolaan homestay.
Kepala Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Sragen Harjuno Toto mengatakan, pihaknya merasa sudah melibatkan masyarakat. Pengelolaan parkir di luar area museum ke depan akan dibicarakan dengan pihak desa dan karang taruna setempat.
”Kami juga sudah memberi pelatihan kerajinan batu yang dijual di museum dan kerajinan batok berupa kancing baju yang dipasarkan ke Solo, Yogyakarta, dan Bali,” kata Harjuno.
Rata-rata pengunjung museum 5.000 orang per bulan. Kontribusi Museum Sangiran terhadap PAD tahun 2012 sebesar Rp 800 juta, sedangkan untuk tahun ini ditingkatkan targetnya menjadi Rp 1,01 miliar. Dikatakan Harjuno, pihaknya berjanji akan lebih meningkatkan keterlibatan masyarakat dengan membuka lahan parkir baru. Wacana tentang pembangunan terminal yang dilengkapi dengan pusat suvenir dan kuliner, menurut dia, juga akan dipertimbangkan.
Diperlukan komitmen untuk mau mendengar keinginan masyarakat dan memberi peran optimal kepada mereka. Bukankah upaya pelestarian lebih efektif jika melibatkan masyarakat?

Sumber : Kompas, 16 Maret 2013

0 komentar:

Posting Komentar